Sejarah HAM


Deklarasi HAM yang dicetuskan di Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 10 Desember 1948, tidak berlebihan jika dikatakan sebagai puncak peradaban umat manusia setelah dunia mengalami malapetaka akibat kekejaman dan keaiban yang dilakukan negara-negara Fasis dan Nazi Jerman dalam Perang Dunia II.
Deklarasi HAM sedunia itu mengandung makana ganda, baik ke luar (antar negara-negara) maupun ke dalam (antar negara-bangsa), berlaku bagi semua bangsa dan pemerintahan di negara-negaranya masing-masing. Makna ke luar adalah berupa komitmen untuk saling menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan antar negara-bangsa, agar terhindar dan tidak terjerumus lagi dalam malapetaka peperangan yang dapat menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Sedangkan makna ke dalam, mengandung pengertian bahwa Deklarasi HAM seduania itu harus senantiasa menjadi kriteria objektif oleh rakyat dari masing-masing negara dalam menilai setiap kebijakan yang dikelauarkan oleh pemerintahnya.
Bagi negara-negara anggota PBB, Deklarasi itu sifatnya mengikat. Dengan demikian setiap pelanggaran atau penyimpangan dari Deklarasi HAM sedunia si suatu negara anggota PBB bukan semata-mata menjadi masalah intern rakyat dari negara yang bersangkutan, melainkan juga merupakan masalah bagi rakyat dan pemerintahan negara-negara anggota PBB lainnya. Mereka absah mempersoalkan dan mengadukan pemerintah pelanggar HAM di suatu negara ke Komisi Tinggi HAM PBB atau melalui lembaga-lembaga HAM internasional lainnya unuk mengutuk bahkan menjatuhkan sanksi internasional terhadap pemerintah yang bersangkutan.
Adapun hakikat universalitas HAM yang sesungguhnya, bahwa ke-30 pasal yang termaktub dalam Deklarasi HAM sedunia itu adalah standar nilai kemanusiaan yang berlaku bagi siapapun, dari kelas sosial dan latar belakang primordial apa pun serta bertempat tinggal di mana pun di muka bumi ini. Semua manusia adalah sama. Semua kandungan nilai-nilainya berlaku untuk semua.
Di Indonesia HAM sebenarnya telah lama ada. Sebagai contoh, HAM di Sulawesi Selatan telah dikenal sejak lama, kemudian ditulis dalam buku-buku adat (Lontarak). Antara lain dinyatakan dalam buku Lontarak (Tomatindo di Lagana) bahwa apabila raja berselisih faham dengan Dewan Adat, maka Raja harus mengalah. Tetapi apabila para Dewam Adat sendiri berselisih, maka rakyatlah yang memustuskan. Jadi asas-asas HAM yang telah disorot sekarang, semuanya sudah diterpkan oleh Raja-Raja dahulu, namun hal ini kurang diperhatikan karena sebagian ahli hukum Indonesia sendiri agaknya lebih suka mempelajari teori hukum Barat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa HAM sudah lama lahir di Indonesia, namun dalam perkembangannya tidak menonjol karena kurang dipublikasikan.
Human Rights selalu terkait dengan hak individu dan hak masyarakat. Ada yang bertanya mengapa tidak disebut hak dan kewajban asasi. Juga ada yang bertanya mengapa bukan Social Rights. Bukankan Social Rights mengutamakan masyarakat yang menjadi tujuan ? Sesungguhnya dalam Human Rights sudah implisit adanya kewajiban yang harus memperhatikan kepentingan masyarakat. Demikian juga tidak mungkin kita mengatakan ada hak kalau tanpa kewajiban. Orang yang dihormati haknya berkewajiban pula menghormati hak orang lain. Jadi saling hormat-menghormati terhadap masing-masing hak orang. Jadi jelaslah kalau ada hak berarti ada kewajiban. Contoh : seseorang yang berhak menuntut perbaikan upah, haruslah terlebih dahulu memenuhi kewajibannya meningkatkan hasil kerjanya. Dengan demikian tidak perlu dipergunakan istilah Social Rights karena kalau kita menghormati hak-hak perseorangan (anggota masyarakat), kiranya sudah termasuk pengertian bahwa dalam memanfaatkan haknya tersebut tidak boleh mengganggu kepentingan masyarakat. Yang perlu dijaga ialah keseimbangan antara hak dan kewajiban serta antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum (kepentingan masyarakat). Selain itu, perlu dijaga juga keseimbangan antara kebebasan dan tanggungjawab. Artinya, seseorang memiliki kebebasan bertindak semaunya, tetapi tidak memperkosa hak-hak orang lain.
Ada yang mengatakan bahwa pelaksanaan HAM di Indonesia harus sesuai dengan latar belakang budaya Indonesia. Artinya, Universal Declaration of Human Rights kita akui, hanya saja dalam implementasinya mungkin tidak sama dengan di negara-negara lain khususnya negara Barat yang latar belakang sejarah dan budayanya berbeda dengan kita. Memang benar bahwa negara-negara di dunia (tidak terkecualai Indonesia) memiliki kondisi-kondisi khusus di bidang politik, sosial, ekonomi, budaya dan lain sebagainya, yang bagaimanapun, tentu saja berpengaruh dalam pelaksanaan HAM. Tetapi, tidak berarti dengan adanya kondisi yang bersifat khusus tersebut, maka prinsip-prinsip mendasar HAM yang universal itu dapat dikaburkan apalagi diingkari. Sebab, universalitas HAM tidak identik dengan "penyeragaman". Sama dalam prinsip-prinsip mendasar, tetapi tidak mesti seragam dalam pelaksanaan. Disamping itu, apa yang disebut dengan kondisi bukanlah sesuatu yang bersifat statis. Artinya, suatu kondisi tertentu tidak dapat dipergunakan sebagai patokan mutlak. Kondisi itu memiliki sifat yang berubah-ubah, dapat dipengaruhi dan diciptakan dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, masalahnya adalah kembali kepada siapa yang mengkondisikan dan mengapa diciptakan kondisi seperti itu ?

»»  READMORE...

Demokrasi dan Politik




Kampus merupakan basis idealis untuk politik,oleh karena itu gak jarang juga mahasiswa yang ada di dalamnya ataupun karyawan mau tidak mau pasti mereka akan ikut/terjun di dunia politik kampus ini yang kami rasakan dimana pada bulan oktober 2011,Universitas Merdeka Malang di benturkan dengan moment terbersar,yaitu pesta demokrasi “Pemilihan Rektor” yang sering kita sebut menjadi “Pilrek”. Tidak jarang juga yang memiliki kepentinggan dan memikirkan bagaimana untuk memajukan atau meningkatkan mutu (kwalitas) Universitas Merdeka Malang, akan tetapi hanya memikirkan kepentingaan pribadi dan pengeksistensian diri. Dan di dalam moment pilrek ini mahasiswa harus berpikir bagaimana UNMER ini, akan menjadi apa UNMER ini, dan idealnya sepeti apa sehingga akan muncul tokoh yang akan merefleksikan pemikiran mahasiswa. Politik yang kita inginkan adalah politik yang bagaimana kita gunakan untuk memperbaki kehidupan dalam bermasyarakat yang ada di lingkungan Universitas Merdeka Malang, penyejahteraan warga UNMER Malang.
Di dalam berpolitik kita harus memiliki pemikiran yang positif memikirkan bagaimana politik yang memiliki etika, artinya kalau kita ingin belajar berpolitik jangan memilki konstruk pemikiran menghalalkan berbagai macam cara untuk menuju kepolitik itu. Politik berrtika atau politik yang baik itu adalah untuk mencapai tujuan harus melihat asas atau dasar, norma, dan pantaskah kita melakukan itu (politik). Apapun yang dilakukan semua itu adalah cara untuk mencapai tujuan.
Mahasiswa disini memiliki hak yang sangat mendukung untuk melaksanakan/pengawalan terhadap pemilihan rektor ini yaitu hak suara yang diwakili oleh lembaga kemahasiswaan yang ada di lingkungan Universitas Merdeka Malang yang terdiri dari BEMU, DPMU, BEM F/P, DPM F, HMJ, yang masing – masing mempunyai hak suara sebanyak 4 suara dari masing – masing instansi, kecuali HMJ. Kalau kita berbicara secara universal, mahasiswa itu semua mempunyai hak yang sama, dan apabila terjadi permasalah dalam kampus kita tercinta ini yaitu UNMER Malang maka mahasiswa berhak memperjuangkan perubahan yang bersifat positif untuk kemajuan Universitas Merdeka Malang.
Untuk melakukan perubahan – perubahan yang bersifat positif itu kita harus memiliki beberapa komitmen, pemantapan, dan satu tujuan yang terdiri dari “menyatukan ide, merapatkan baris, dan yang terakhir melakukan perubahan bersama”.
Pilrek (pemilihan rektor), Pildek (pemilihan dekan), pemilihan presiden BEMU, pemilihan ketua DPMU, menyadari atau tidak itu tidak terlepas dari politik kampus dan itu adalah salah satu proses pembelajaran politik di dalam kampus.

»»  READMORE...