PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL

kegiatan rutinan dept penalaran hukum (hakim,dan kawan-kawan),kamis-28 mei pukul 15.00 melaksanakan diskusi ringan di tubuh internal BEM yang membahas tentang "perkembangan hukum islam dalam sistem hukum nasional" diskusi ini berlangsung dengan penuh perbedaan pandangan antar pengurus BEM. rencananya tema ini akan di diskusikan lagi untuk mahasiswa hukum UNMER malang dengan melibatkan dosen-dosen yang berkompeten.harapan dari dept penalaran hukum nantinya mampu menciptakan atmosfere ilmiah di lingkungan civitas akademika UNMER malang.berikut draf materi yang menjadi bahan diskusi
BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi startegis dan konseptual yang bersifat laboratorium operasional menurut bidangnya masing-masing di BEM FH UNMER MALANG Periode 2009-2010 yang bertanggung jawab kepada ketua BEM FH yang dipimpin oleh koordinator yang membawahi staf departemen. Untuk itu, kami sebagai pengurus dari Departemen Penalaran Hukum melaksanakan tugas yang tertera dalam Job Description dan program kerja Departeman. Salah satu tugas itu adalah mengadakan diskusi rutinan tiap bulan dengan adanya follow up ( ps. 2 angka 9 ).
Pada kesempatan ini, kami mengajak kawan-kawan dari lingkungan internal untuk dapat mengikuti kegiatan ini. Dengan memaparkan salah satu topik yang hangat di era reformasi saat ini, yaitu mengenai Perkembangan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional. Seperti yang kita ketahui bahwa saat ini hukum Islam berkembang secara bertahap menuju masyarakat yang masyhur. Seperi dapat kita tinjau, di kawasan Barat Indonesia yakni tepatnya di Nangroe Aceh Darussalam. Disana syariat Islam telah diberlakukan, berbeda dengan kawasan selain Nangroe Aceh Darussalam. Tetapi ada pula syariat Islam yang telah diberlakukan secara Nasional, diantaranya terdapat pemberlakuan Sistem Hukum Bank Syar’iyah. Dengan adanya perkembangan tersebut umat Islam Indonesia lebih bisa tersenyum, karena mereka bisa lebih tenang lagi dalam menjalankan syariatnya. Tetapi disisi lain, mungkin ada yang belum dapat menerimanya secara utuh, yakni di sekitar daerah Tengah dan Timur Indonesia, diantaranya; Bali, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, Flores maupun Papua. Dikarenakan sebagian besar penduduknya masih menganut agama non Islam. Untuk itulah sebagai mahasiswa fakultas hukum, tentu kita memiliki solusi yang baik dalam mengatasi permasalahan tersebut.
Demikianlah sedikit pernak-pernik permasalahan yang kami paparkan untuk dapat kita diskusikan bersama. Sebagai kaum intelek yang bijak, marilah kita kritisi permasalan ini dengan kepala dingin dan hati yang sejuk agar kita dapat memecahkan masalah secara jelas dan sesuai dengan sasaran permasalahan.
B. Masalah
1. Bagaimanakah perbedaan definisi hukum dalam sudut pandang Islam dan sistem Barat ?
2. Bagaimanakah prospek dan potensi yang dimiliki hukum Islam dalam pembangunan hukum nasional ?
3. Bagaimanakah pengaruh penerapan syariat Islam terhadap golongan minoritas ?
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui perbedaan definisi hukum dalam sudut pandang Islam dan sistem Barat
2. Untuk mengetahui prospek dan potensi yang dimiliki hukum Islam dalam pembangunan hukum nasional
3. Untuk mengetahui pengaruh penerapan syariat Islam terhadap golongan minoritas




BAB II
PEMBAHASAN

A. Perbedaan definisi hukum dalam sudut pandang Islam dan sistem Barat.
A.1. Apa Yang Dikatakan Hukum
1. Seluruh Hukum yang Maujud diatur oleh Hukum
Untuk memberikan definisi tentang apa yang dikatakan hukum, banyak para ahli menyatakan tidak ada kemungkinanannya. Tidak mungkinnya memberikan definisi tentang apa yang dikatakan hukum itu disebabkan oleh luasnya lapangan hukum itu, apabila seorang ahli hukum mencoba memberikan definisi hukum, maka selalulah pendapatnya itu akan berbeda dengan pendapat ahli hukum yang lain. Sehingga kita dewasa ini, belumlah mempunyaI suatu definisi yang pasti tentang apa yang dikatakan hukum itu.
Tetapi ada suatu hal yang mereka sudah sepakati. Hukum itu hanya ada dalam masyarakat ummat manusia. Utrecht mengatakan mengatakan bahwa hukum itu baru ada, setelah adanya masyarakat ummat manusia. Berdasarkan pendapat ini, maka yang dikatakan hukum itu hanyalah hukum yang ada dalam masyarakat ummat manusia saja. Seolah-olah di luar masyarakat ummat manusia itu tidak ada hukum lagi.
Tetapi kalau kita mempunyai pendapat bahwa hukum itu mempunyai fungsi mengurus tata-tertib masyarakat, maka tentulah kita harus pula mengakui bahwa setiap masyarakat yang di dalamnya terjadi tata-tertib, adalah diatur oleh hukum. Dan hukum itu tentu ada dalam masyarakat itu. Dan apabila kita memberikan arti kepada kata masyarkat itu sebagai suatu keadaan berkumpul bersama-sama dalam suatu tempat yang tertentu dengan melakukan fungsi masing-masing, maka keadaan bermasyarakat itu bukan saja terdiri pada ummat manusia, tetapi juga pada seluruh maujud ini. Ada masyarakat benda mati, masyarakat tumbuh-tumbuhan, masyarkat binatang, dan yang lebih besar lagi, masyarakat tata-surya.
Memang hukum yang ada dalam masyarakat-masyarakat yang kita sebutkan di atas itu, berlainan dari pada hukum yang ada dalam masyarakat ummat manusia. Tetapi toh ada hukum. Perlainannya tentu ditimbulkan oleh perlainan obyek yang diatur oleh hukum itu. Perlainan obyek yang diatur oleh hukum, tentu tidak dapat memberikan kesimpulan bahwa hukum itu tidak ada. Begitu juga perlainan isi, tidak dapat memberikan kesimpulan kepada kita bahwa hukum yang berlainan isinya itu tidak ada. Bahkan anarki sendiripun tidak dapat memberikan kesimpulan kepada kita bahwa di sana tidak ada hukum. Anarki itu timbul karena tidak mengindahkan hukum. Perkataan tidak mengindahkan hukum, membawa pengertian bahwa di sana masih ada hukum. Hanya saja hukum yang ada itu tidak lagi ditaati dan dituruti.
Dari keterangan yang kita berikan di atas, jelaslah bahwa ada tata-tertib di dalam masyarakat ummat manusia. Jadi hukum itu bukan saja ditemui alam yang di luar masyarakat ummat manusia, tetapi juga dalam seluruh maujud ini. Begitulah Qur’an sudah mengatakan. Bahwa dijadikan langit dan bumi dan segala yang ada di antaranya, bukan dengan sia-sia, tetapi dengan ada peraturan-perjauaturan tertentu. Jadi, hukum itu ada pada segala yang maujud. Hukum menurut Qur’an, jauh lebih luas daripada hukum yang diartikan oleh ilmu hukum dewasa ini.
Kelihatannya memang begitulah pendirian yang dalam ilmu hukum. Sungguhpun hanya dikatakan hukum saja, dengan tidak ada kata-kata yang membatasi pengertian, tidak ada suatu determinasi, maka rupanya sudah sama-sama dimengerti bahwa hukum yang dimaksud adan pekrjaanalah hukum dalam masyarakat ummat manusia.
Pandangan Qur’an yang begitu luas mengenai hukum ini, berpangkal kepada suatu sikap yang memandang bahwa seluruh alam ini, termasuk manusia, dijadikan oleh Tuhan Yang Maha Bijaksana. Dan segala yang dijadikan-Nya di atas alam ini, diserahkan-Nya kepada manusia untuk dieksploitir, guna kesempurnaan ummat manusia itu sendiri. Apabila seluruh yang ada dalam alam ini dijadikan dan disuruh pergunakan serta disuruh pikirkan kepada ummatmanusia, maka penggunaan dan car pemikiran itu menuruti hukum-hukum yang sudah ada dalam seluruh kejadian itu. Dan adanya hukum dalam seluruh kejadian itu sudah pula ditunjukkan oleh Qur’an, seperti yang telah kiseperti yang telah kitaa terangkan di atas tadi.
2. Lima Kategori Hukum
Kita mengetahui bahwa hukum dalam masyarakat ummat manusia menimbulkan kewajiban dan / hak kepada tiap-tiap manusia. Dalam hakikatnya, hak itu adalah fakultatif, sedangkan kewajiban itu aktif. Kita takkan pula bahwa kewajiban yang ditimbulkan oleh hukum itu adakalanya merupakan kewajiban untuk tidak mengerjakan sesuatu.
Dan dalam masyarakat, kita pun melihat dan bertemu dengan pekerjaan-pekerjaan dan perbuatan-perbuatan, yang kalau kita lakukan atau tidak kita lakukan, maka hasil kebaikan atau hasil kejahatan (bahayanya) kepada masyarakat tidaklah bersamaan. Ada yang banyak kebaikannya, ada pula yang sedikit. Ada yang besar bahayanya, ada pula yang kecil. Bahkan ada pula yang tidak ada kebaikan dan kejahatan (bahayanya) sama sekali kepada masyarakat. Menolong seorang yang dalam bahaya akan mati lemas, tentu tidak sama nilai kebaikannya dengan pekerjaan membuang sekeping pecahan kaca dari jalan umum. Mengerjakan pekerjaan berjudi tentu tidak sam nila kejatannya dengan mencerca seorang di belakangnya. Kalau saya memilih kapal terbang sebagai kendaraan saya untuk pergi ke Jakarta, maka pilihan saya itu tidak ada nilai baik atau jahatnya kepada masyarakat.
Karena kenyataan-kenyataan yang ada dalam masyarakat ummat manusia seperti diatas itu, maka islam membagi hukum kepada lima buah kategori :
1. Wajib
2. Sunnat
3. Haram.
4. Makruh
5. Mubah

Pengertian,
1. Wajib, menunjukkan kepada suatu sikap psychis yang tidak boleh tidak harusdipunyai, atau perbuatan yang tidak boleh tidak harus dikerjakan.
2. Sunnat, menunjukkan kepada suatu sikap psychisyang dianjurkansupaya dipunyai, atau suatu perbuatan yang dinjurkan supaya dikerjakan.
3. Haram, menunjukkan kepada suatu sikap psychis yan tidak boleh tidak harus ditinggalkan, atau suatu perbuatan yang tidak boleh tidak mesti ditinggalkan.
4. makruh, menujukkan kepada suatu sikap psychis yang dianjurkan supaya ditinggalkan atau supaya perbuatan yang dianjurkan supaya tidak dikerjakan.
5. Mubah, menunjukan kepada suatu sikap psychis atau suatu perbuatan yang terserah kepada manusia untuk mengerjakanan atau tidak mengerjakan.

Seperti kita ketahui, hukum romawi itu hanya mempumyai tiga kategori hukum, yaitu :
1. imperare (suruhan)
2. prohibere (larangan)
3. permittere (hal-hal yang diizinkan)
Kalau kita bandingkan dengan kategori hukum Qur’an, maka imperare sama dengan wajib, prohibere sama dengan hara, permittere sama dengan jaiz (mubah). Tidak ada diketemukan sunnat dan makruh dala hukum romawi.

Manusia yang hanya mempunyai suruhan dan larangan dalam hidupnya, tidak mempunyai sumber-sumber moril dalam dirinya. Manusia yang seperti ini adalah manusia yang kasar. Hal ini mengingatkan kita kepada gladiator di zaman romawi. Memang kategori hukumnya cocok dengan munculnya gladiator di dalam masyarakat mereka.

A.2. KEWAJIBAN DAN HAK
1. Hukum memberikan kewajiban kepada manusia.
Jikalau pasal 362 KUH Pidana mengancam perbuatan pencurian dengan hukuman, maka hal itu berarti bahwa kepada setiap orang diberikan kewajiban supaya meninggalakan perbuatan pencurian tersebut.
Begitu pula apabila terjadi perjanjian jual-beli se[erti yang disebutkan oleh pasal 1475 KUH Perdata, maka hal ini berarti bahwa masing-masing pihak dipikulkan kewajiban supaya melakukan suatu pekerjaan. Yang seorang sebagai pembeli, mempunyai kewajiban untuk membayar harga barang yang dibelinya, dan yang seorang lagi sebagai penjual, mempunyai mkewajiban untuk menyerhkan barang yang dijualnya itu.
Dan apabila Qur’an mengatakan bahwa sebagai orang Islam, orang wajib mengerjakan puasa dalam bulan Ramadhan, maka hal itu berarti bahw akepada orang Islam dipikulkan kewajiban untuk mengerjakan puasa dalam bulan tersebut.
Dengan mengatakan hal ini, bukanlah meniadakan bahwa hukum itu juga memberikan hak-hak kepada manusia. Dalam definisi kita tentang hukum, sudah kita katakana bahwa hukum itu, selain memberikan kewajiban kepada manusia, juga memberikan beberapa hak. Hanya kita hendak mengatakan bahwa hukum itu memberikan kewajiban kepada manusia, sebagai tugasnya yang pertama dan utama. Bukan memberikan hak. Hak itu baru timbul setelah kewajiban dilaksanakan.
Ilmu hukum mengatakan bahwa hak pribadi manusia mengenai keselamatan jiwa, badan dan kehormatan dilindungi oleh undang-undang. (Lihatlah pasal-pasal 310, 338, 360 KUH Pidana dan pasal-paasl 1370, 1371, 1373 KUH Perdata). Begitu pula dengan hak-hak yang lain itu, selalu dilindungi oleh peraturan perundang-undangan. Dan karena ilmu hukum memang lebih memntingkan hak daripada kewajiban, maka pembicaraan mengenai ini mendapat tempat yang panjang sekali. Dan hamper tidak ada ilmu hukum mebicarakan kewajiban, seolah-olah masyarakat ummat manusia ini akan teratur dan selamat hanya dengan memberikan hak-hak saja kepada manusia. Dengan tidak usah mengerjakan kewajiban-kewajiban.
Tetapi seperti kita katakan di atas, hukum Qur’an lebih mementingkan kewajiban daripada hak. Kewajiban yang lebih dahulu dipikulkan kepada manusia. Menurut hukum Qur’an, tidak ada gunanya hak rpibadi manusia itu, jikalau manusia itu tidak mengerjakan kewajibannya. Qur’an mengatakan bahwa hak-hak pribadi manusia itu adalah untuk dipergunakan guna melakukan kewajiban.
Cara pemikiran ilmu hukum yang seperti ini, yang meletakkan prioritas kepada hak, berasal daripada pemikiran zaman renaissance, yang menjelmakan individualisme. Pemikiran yang dikungkung oleh fenomena dalam masyarakat yang ada sebelum itu, yang memprlihatkan tidak adanya manuisa mempunyai hak-hak yang diperlukannya. Maka orang salah mengartikan sewaktu orang mengatakan bahwa kemajuan yang tidak ada itu disebabkan karena manusia tidak mempunyai hak-hak yang diperlukannya. Dan karena selalu membulatkan pandangan kepada hak-hak yang harus dipunyai oleh manusia, maka orang melupakan akan kewajiban-kewajiban yang juga harus dipunyai oleh manusia itu, jikalau manusia dan masyartakatnya hendak selamat dan sempurna.
Kesalahan jalan pemikiran yang seperti ini rupanya dirasakan juga oleh Leon Duguit. Tetapi Leon Duguit terlalu menekankan kepada kewajiban, sehingga dia mengatakan tidak ada hak subyektif yang dipunyai oleh manusia. Dan masa sekarang, orang mulai hendak memperbaiki kesalahan cara pemikiran ini dengan mengemukakan istilah fungsi sosial. Maka dikatakan bahwa harta kekayaan seorang manusia itu mempunyai fungsi sosial, dengan pengertian bahwa dalam mempergunakan hak mutlaknya tentang harta kekayaan, orang harus mengindahkan kepentingan masyarakat.
Tetapi persoalan ini tidak akan berbelit-belit, apabila untuk manusia, bukan hak yang lebih dipentingkan, tetapi kewajiban, seperti yang diatur menurut hukum Qur’an. Selain daripada itu, sikap ilmu hukum yang lebih mementingkan hak daripada kewajiban itu mempunyai akibat-akibat psychologis yang amat dalam dan membahayakan dalam masyarakat ummat manusia. Dari seorang manusia saja di tengah pasar, sampai kepada Sidang Dewan Keamanan PBB, manuisa selalu meneriakkan hak-haknya dan meminta diperhatikan hak-haknya. Jarang kita mendengar manuisa itu membicarakn kewajiban-kewajibannya itu. Veto dalam Sidang Dewan Keamanan berdasarkan kepada hak-hak yang dirasakan dilanggar oleh orang lain. Hak subyektif yang lebih dipentingkan oleh ilmu hukum daripada kewajiban telah membawa ummat manusia ke dalam suatu kekusutan dan kegoncangan.

B. Beberapa Undang-Undang di Indonesia yang bersumber pada Hukum Islam
Sistem hukum yang mewarnai hukum nasional kita di Indonesia selama ini pada dasarnya terbentuk atau dipengaruhi oleh tiga pilar subsistem hukum yaitu sistem hukum barat,hukum adat dan sistem hukum islam, yang masing-masing menjadi sub-sistemhukum dalam sistem hukum Indonesia. Sistem hukum Barat merupakan warisan penjajah kolonial Belanda yang selama 350 tahun menjajah Indonesia. Penjajahan tersebut sangat berpengaruh pada sistem hukum nasional kita. Sementara System Hukum Adat bersendikan atas dasar-dasar alam pikiran bangsa Indonesia, dan untuk dapat sadar akan sistem hukum adat orang harus menyelami dasar-dasar alam pikiran yang hidup di dalam masyarakat Indonesia. Kemudian sistem hukum islam, yang merupakan sistem hukum yang bersumber pada kitab suci AIquran dan yang dijelaskan oleh Nabi Muhammad dengan hadis/sunnah-Nya serta dikonkretkan oleh para mujtahid dengan ijtihadnya.
Bustanul Arifin menyebutnya dengan gejala social hukum itu sebagai perbenturan antara tiga sistem hukum, yang direkayasa oleh politik hukum kolonial Belanda duluyang hingga kini masih belum bisa diatasi, seperli terlihat dalam, sebagian kecil pasal pada UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Dari ketiga sistem hukum di atas secara objektif dapat kita nilai bahwa hukum Islamlah ke depan yang lebih berpeluang memberi masukan bagi pembentukan hukum nasional. Selain karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dan adanya kedekatan emosional dengan hukum islam juga karena sistem hukum barat/kolonial sudah tidak berkembang lagi sejak kemerdekaan Indonesia, sementara hukum adat juga tidak memperlihatkan sumbangsih yang besar bagi pembangunan hukum nasional, sehingga harapan utama dalam pembentukan hukum nasional adalah sumbangsih hukurn Islam.
Hukum Islam memiliki prospek dan potensi yang sangat besar dalam pembangunan hukum nasional. Ada beberapa pertimbangan yang menjadikan hukum nasional layak menjadi rujukan dalam pembentukan hukum nasonal yaitu:
1. Undang-undang yang sudah ada dan berlaku saat ini seperti, UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, UU Penyelenggaraan Ibadah Haji, UU Pengelolaan Zakat, dan UU Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam serta beberapa undang-undang lainnya yang langsung maupun tidak langsung memuat hukum Islam seperti UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan yang mengakui keberadaan Bank Syari'ah dengan prinsip syari'ahnya., atau UU NO. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama yang semakin memperluas kewenangannya, dan UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
2. Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai lebih kurang 90 persen beragama Islam akan memberikan pertimbangan yang signifikan dalam mengakomodasi kepentingannya.
3. Kesadaran umat Islam dalam praktek kehidupan sehari-hari. Banyak aktifitaskeagamaan masyarakat yang terjadi selama ini merupakan cerminan kesadaran mereka menjalankan Syari'at atau hukum Islam, seperti pembagian zakat dan waris.
4. Politik pemerintah atau political will dari pemerintah dalam hal ini sangat menentukan. Tanpa adanya kemauan politik dari pemerintah maka cukup berat bagi Hukum Islam untuk menjadi bagian dari tata hukum di Indonesia.
(1) Undang-Undang Perkawinan
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disahkan dan diundangkan di Jakarta Pada tanggal 2 Januari 1974 (Lembaran Negara Tahun 1974 No. Tambahan Lembaran Negara Nomer 3019).

(2) Undang-Undang Peradilan Agama
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 29 Desember 1989 (Lembaran NegaraRepublik Indonesia Tahun 1989 No. 49, Tambahan Lembaran Negara RepublikIndonesia No. 3400). Kemudian pada tanggal 20 Maret 2006 disahkan UU Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agarna. Yang melegakan dari UU ini adalah semakin luasnya kewenangan Pengadilan Agama khususnya kewenangan dalam menyelesaikan perkara di bidang ekonomi syari'ah. Untuk menjelaskan berbagai persoalan syari'ah di atas Dewan Syari'ahNasional (DSN) telah mengeluarkan sejumlah fatwa yang berkaitan dengan ekonomi syari'ah yang sampai saat ini jumlahnya sudah mencapai 53 fatwa. Fatwa tersebut dapat menjadi bahan utama dalam penyusunan kompilasitersebut. Sehubungan dengan tambahan kewenangan yang cukup banyak kepada pengadilan agama sebagaimana pada UU No. 3 tahun 2006 yaitu mengenai ekonomi syari'ah, sementara hukum Islam mengenai ekonomi syari'ah masih tersebar di dalam kitab-kitab fiqh dan fatwa Dewan Syari'ah Nasional, kehadiran Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah (KHES) yang didasarkan pada PERMA Nomor 2 Tahun 2008, tanggal 10 September 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah, menjadi pedoman dan pegangan kuat bagi para Hakim Pengadilan Agama khususnya, agar tidak terjadi disparitas putusan Hakim, dengan tidak mengabaikan penggalian hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat sebagaimana maksud Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah terdiri dari 4 Buku, 43 Bab, 796 Pasal.

(3) Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji
Undang-Undang No. 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 3 Mei 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 No. 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3832), yang digantikan oleh UU Nomor 13 Tahun 2008. UU pengganti ini memiliki 69 pasal dari sebelumnya 30 pasal. UU ini mentikberatkan pada adanya pengawasari dengan dibentuknya Komisi Pengawasan Haji Indonesia [KPHI]. Demikian juga dalam UU ini diiatur secara terperinci tentang Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji [BPIH]. Aturan baru tersebut diharapkan dapat menjadikan pelaksanaan ibadah haji lebih tertib dan lebih baik.

(4) Undang-Undang Pengelolaan Zakat
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggaI 23 September 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 No. 164, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3885).

(5) Undang-Undang Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh.
Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 4 Oktober 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun1999 No.172, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No.3893).

(6) Undang-Undang Otonomi Khusus Aceh
Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 9 Agustus 2001 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 No. 114, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4134).

(7) Kompilasi Hukum Islam
Perwujudan hukum bagi umat Islam di Indonesia terkadang menimbulkan pemahaman yang berbeda. Akibatnya, hukum yang dijatuhkan sering terjadi perdebatan di kalangan para ulama. Karena itu diperlukan upaya penyeragaman pemahaman dan kejelasan bagi kesatuan hukum Islam. Keinginan itu akhirnya memunculkan Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang saat ini telah menjadi salah satu pegangan utama para hakim di lingkungan Peradilan Agama. Sebab selama ini Peradilan Agama tidak mempunyai buku standar yang bisa dijadikan pegangan sebagaimana halnya KUH Perdata. Dan pada tanggal 10 Juni 1991 Presiden menandatangani Inpress No.1 Tahun 1991 yang merupakan instruksi untuk memasyarakatkan KHI.

(8) Undang-undang tentang Wakaf
Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 27 Oktober 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 No. 159, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4459). Kemudian pada tanggal 15 Desember 2006 ditetapkanlah peraturan pemerintah Republik. Indonesia Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf. Maksud penyusunan peraturan pelaksanaan PP ini adalah untuk menyederhanakan pengaturan yang mudah dipahami masyarakat, organisasi dan badan hukum, serta pejabat pemerintahan yang mengurus perwakafan, BWI, dan LKS, sekaligus menghindari berbagai kemungkinan perbedaan penafsiran terhadap ketentuan yang berlaku.
(9) Undang-Undang Tentang Pemerintahan Aceh
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, semakin menegaskan legalitas penerapan syariat Islam di Aceh. Syariat Islam yang dimaksud dalam undang-undang ini meliputi ibadah, al-ahwalal-syakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah (hukumpidana), qadha (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syi'ar, danpembelaan Islam. Di samping itu keberadaan Mahkamah Syar'iyah yang memiliki kewenangan yang sangat luas semakin memperkuat penerapan hukum Islam di Aceh. Mahkamah Syar'iyah merupakan pengadilan bagi setiap orang yang beragama Islam dan berada di Aceh. Mahkamah ini berwenang memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang al-ahwalal-syakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata) tertentu, jinayah (hukum pidana) tertentu, yang didasarkan atas syari'at Islam.

10) Undang-undang Tentang Perbankan Syari'ah
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang diundangkan pada tanggal 10 November 1998, menandai sejarah baru di bidang perbankan yang mulai memberlakukan sistem ganda duel system banking di Indonesia, yaitu sistem perbankan konvensional dengan piranti bunga, dan sistem perbankan dengan peranti akad-akad yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Sejarah perbankan secara faktual telah mencatat bahwa dalam kurun waktu antara tahun 1992 hingga Mei 2004 telah berkembang pesat perbankan syariah. Secara kuantitatif jumlah bank syariah pada tahun 1992 hanya ada satu Bank Umum Syariah, yaitu Bank Mu'amalat Indonesia, dan BPRS, tetapi saat ini telah ada dua Bank Umum Syariah dengan 114 kantor cabang dan pembantu Bank Syariah. Pada tahun 2006 jumlah Bank Syariah telah berkembang dua kali lipat dari jumlah dua tahun yang lalu. Tren perkembangan perbankan syariah yang begitu cepat dengan memperoleh simpatik luas dari umat muslim dan juga dari nonmuslim.Sistem Perbankan Syariah berdiri di atas akad-akad yang telah disepakati bersama dengan prinsip syariah tak boleh merugikan dan juga tidak boleh membebankan kerugian bersama kepada salah satu pihak. Keuntungan menjadi keuntungan bersama, dan juga kerugian menjadi kerugian yang harus ditanggung bersama. Sistem perbankan syariah telah teruji dan terbukti di seluruh dunia, termasuk Indonesia,dalam menghadapi krisis moneter yang dapat terjadi kapan saja. Pemerintah telah menyatakan keseriusannya untuk menelaah urgensi pembuatan UU Perbankan Syariah di Indonesia, dan akhirnya pada tanggal 17 Juni 2008 DPR mengesahkan Undang-Undang Tentang Perbankan Syariah yang diundangkan pada tanggal 16 Juli 2008. Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 2008 Nomor 94 tentang Perbankan Syariah, dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867). Peluasan kelembagaan perbankan syariah telah merambah kepada aspek-aspek ekonomi syariah sebagai berituk-bentuk produk perbankan syariah. Dan Perbankan Syariah sebagai suatu lembaga dalam perbankan, menuntut adanya kepastian hukum, penegakan hukum, dan keadilan, serta antisipasi hukum apabila terjadi konflik antara pihak nasabah dengan pihak bank. Undang-Un dang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang diundangkan pada tanggal 20 Maret tahun 2006 telah memberi amanat kepada Lembaga Peradilan Agama sebagai salah satu lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan perkara-perkara tertentu termasuk perkara perbankan dan ekonomi syariah yang terjadi di Indonesia. Saat ini perkembangan Perbankan Syariah tidak hanya dalam jasa bank saja tapi juga merambah sektor lain seperti Asuransi Syariah, Obligasi Syariah, Reksadana Syariah dan produk lainnya. Hal yang tak kalah pentingnya guna menutupi kekurangan aturan hukum yang ada maka Perbankan Syariah sangat mengandalkan apa yang dinamakan dengan kepercayaan sebagai modal utama dan karakteristik Perbankan Syariah. Pada Bank Syariah, prinsip utama yang dipegang yaitu kepercayaan dan kejujuran berlandaskan syariah sedangkan pada Bank Konvensional dalam pembiayaan menerapkan 5 prinsip; Penilaian watak (character), Penilaian kemampuan (capability), Penilaian terhadap modal (capital), Penilaian agunan (collateral), Penilaian prospek usaha (condition of economic)'. CEO Muamalat Institute, Amir Rajab Batubara menyatakan bahwa di Eropa dan di AS, Bank Islam menunjukkan eksistensinya sebagai bank yang menjadi pilihan masyarakat, bank Islam lebih adil, lebih bernilai dan hasilnya lebih menjanjikan, karena itu nasabahnya tidak hanya kelompok Islam tapi juga non muslim. Perbankan syariah di Indonesia mulai dikembangkan sejak berlakunya Undang-Undang No.7 tahun 1992 tentang Perbankan yang istilahnya dikenal dengan prinsip bagi hasil. Undang-Undang ini telah memberikan landasan hukum bagi pengoperasian Perbankan Syar;ah secara legal dan menjadi milestone penting yang menandai pemberlakuan dual banking sytem di Indonesia, yaitu beroperasinya Bank Konvensional dan Bank Syariah dalamsistem perbankan nasional.
Penyempurnaan landasan hukum keberlakuan Perbankan Syariah terdapatdalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan yang merupakan amandemen dari Undang-Undang NO.7 tahun 1992. Dalam Undang-Undang NO.10 tahun 1998 dinyatakan dengan jelas mengenai penggolongan kegiatan usaha bank menjadi 2 (dua) jenis yaitu bank yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional dan bank yang melakukan usahanya berdasarkan prinsip syariah sesuai dengan hukum Islam. Undang -Undang ini, memungkinkan pula Bank Konvensional membuka kantor cabang syariah atau dikenaldengan istilah dual banking system. Perkembangan Bank Syariah tak bisa dilihat sebelah mata,perkembangan yang pesat serta pelajaran yang diberikan pada krisis 1997, telah memunculkan harapan bagi sebagian masyarakat bahwa pengembangan Ekonomi Syariah merupakan satu solusi bagi peningkatan ketahanan ekonomi nasional, disamping juga sebagaikebutuhan umat Islam. Prospek ke depan, menurut penelitian bahwa sampai tahun 2011 Perbankan Syariah akan mengalami pertumbuhan sebesar 15% dari total aset perbankan nasional(4.218 Triliun) dari market share Perbankan Syariah sebesar 0.26 % atau sebesar Rp 204 Triliun. Dan secara prinsip ada 3 hal yang membedakan antara Bank Konvensional dengan Bank Syariah:
1. Bank Syariah dijalankan dengan prinsip nisbah (bagi hasil) untuk menghimpun dana dan pembiayaan.
2. Bank Syariah tidak boleh membiayai proyek yang dilarang oleh Undang-Undang maupun hukum Islam.
3. Tidak boleh melakukan tindakan spekulatif seperti transaksi valuta asing (hedging & future trading).

C. Penerapan Syariat Islam terhadap golongan minoritas atau non muslims

Agama di Indonesia memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. hal ini dinyatakan dalam ideology bangsa Indonesia, Pancasila: “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sejumlah agama di Indonesia berpengaruh secara kolektif terhadap politik, ekonomi dan budaya. Di tahun 2000, kira-kira 86,1% dari 240.271.522 penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam, 5,7% Protestan, 3% Katolik, 1,8% Hindu, dan 3,4% kepercayaan lainnya.
Dalam UUD 1945 dinyatakan bahwa "tiap-tiap penduduk diberikan kebebasan untuk memilih dan mempraktikkan kepercayaannya" dan "menjamin semuanya akan kebebasan untuk menyembah, menurut agama atau kepercayaannya". Pemerintah, bagaimanapun, secara resmi hanya mengakui enam agama, yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu.
Dengan banyaknya agama maupun aliran kepercayaan yang ada di Indonesia, konflik antar agama sering kali tidak terelakkan. Lebih dari itu, kepemimpinan politis Indonesia memainkan peranan penting dalam hubungan antar kelompok maupun golongan. Program transmigrasi secara tidak langsung telah menyebabkan sejumlah konflik di wilayah timur Indonesia.
1. Hindu
Menurut catatan, jumlah penganut Hindu di Indonesia pada tahun 2006 adalah 6,5 juta orang), sekitar 1,8% dari jumlah penduduk Indonesia, merupakan nomor empat terbesar. Namun jumlah ini diperdebatkan oleh perwakilan Hindu Indonesia, Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI). PHDI memberi suatu perkiraan bahwa ada 18 juta orang penganut Hindu di Indonesia. Sekitar 93 % penganut Hindu berada di Bali. Selain Bali juga terdapat di Sumatera, Jawa, Lombok, dan pulau Kalimantan yang juga memiliki populasi Hindu cukup besar, yaitu di Kalimantan Tengah, sekitar 15,8 % (sebagian besarnya adalah Hindu Kaharingan, agama lokal Kalimantan yang digabungkan ke dalam agama Hindu).
2. Budha
Menurut sensus nasional tahun 1990, lebih dari 1% dari total penduduk Indonesia beragama Buddha, sekitar 1,8 juta orang. Kebanyakan penganut agama Buddha berada di Jakarta, walaupun ada juga di lain provinsi seperti Riau, Sumatra Utara dan Kalimantan Barat. Namun, jumlah ini mungkin terlalu tinggi, mengingat agama Konghucu dan Taoisme tidak dianggap sebagai agama resmi di Indonesia, sehingga dalam sensus diri mereka dianggap sebagai penganut agama Buddha.
3. Kristen Katolik
Pada tahun 2006, 3% dari penduduk Indonesia adalah Katolik, lebih kecil dibandingkan para penganut Protestan. Mereka kebanyakan tinggal di Papua dan Flores.
4. Islam
Indonesia merupakan negara dengan penduduk Muslim terbanyak di dunia, dengan 88% dari jumlah penduduk adalah penganut ajaran Islam. Mayoritas Muslim dapat dijumpai di wilayah barat Indonesia seperti di Jawa dan Sumatera. Sedangkan di wilayah timur Indonesia, persentase penganutnya tidak sebesar di kawasan barat. Sekitar 98% Muslim di Indonesia adalah penganut aliran Sunni. Sisanya, sekitar dua juta pengikut adalah Syiah (di atas satu persen), berada di Aceh.
5. Kristen Protestan
Di Indonesia, terdapat dua provinsi yang mayoritas penduduknya adalah Protestan, yaitu Papua dan Sulawesi Utara, dengan 60% dan 64% dari jumlah penduduk. Di Papua, ajaran Protestan telah dipraktikkan secara baik oleh penduduk asli. Di Sulawesi Utara, kaum Minahasa yang berpusat di sekeliling Manado, berpindah agama ke Protestan pada sekitar abad ke-19. Saat ini, kebanyakan dari penduduk asli Sulawesi Utara menjalankan beberapa aliran Protestan. Selain itu, para transmigran dari pulau Jawa dan Madura yang beragama Islam juga mulai berdatangan. Pada tahun 2006, lima persen dari jumlah penduduk Indonesia adalah penganut Kristen Protestan.
6. Konghucu
Agama Konghucu berasal dari China daratan dan yang dibawa oleh para pedagang Tionghoa dan imigran. Diperkirakan pada abad ketiga Masehi, orang Tionghoa tiba di kepulauan Nusantara. Berbeda dengan agama yang lain, Konghucu lebih menitikberatkan pada kepercayaan dan praktik yang individual, lepas daripada kode etik melakukannya, bukannya suatu agama masyarakat yang terorganisir dengan baik, atau jalan hidup atau pergerakan sosial. Di era 1900-an, pemeluk Konghucu membentuk suatu organisasi, disebut Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) di Batavia (sekarang Jakarta).
Pada saat ini, di Indonesia kemungkinan untuk terjadinya idealisasi terhadap syariah sangat dimungkinkan terjadi. Karena adanya kesenjangan social dalam pemberlakuan sistem hukum nasional. Padahal syariyah itu sendiri, dan bahkan kehidupan keagamaan secara umum sangat tergantung kepada factor-faktor lain. Tetapi ketika orang kehilangan orientasi, mengalami dislokasi, hukum tidak tegak, dan sebagainya, maka terjadi idealisasi terhadap syariat. seolah-olah syariat itu bisa menyelesaikan masalah. Padahal persoalan-persoalan internal di dalam syariat itu sendiri masih banyak, belum terselesaikan. Bagaimana kemudian kalau masalah internal ini belum diselesaikan, sementara itu juga ada keinginan kuat untuk menerapkan, apakah ini tidak menimbulkan masalah-masalah berikutnya.
Permasalahan berikutnya adalah jika terjadi ekses dari penerapan syariat Islam, bahkan terhadap kaum muslim sendiri. Jadi kita harus akui, ada juga kalangan muslim yang belum siap menerima hal itu. Hal ini adalah kenyataan sosiologis. Dan disini, fungsi dan peranan dakwah.
Tapi kalau bicara soal ekses, kita juga pernah dengar laporan, misalnya di wilayah tertentu yang berusaha menerapkan syariat Islam, misalnya perempuan harus mengenakan jilbab, dan itu tidak ada masalah buat kaum muslimah. Namun, eksesnya yang muncul adalah perempuan non muslim juga harus memakai jilbab karena sulit membedakan apakh dia muslim atau bukan. Kemudian dia terpaksa mengenakan jilbab, dan untuk menjelaskan jati dirinya dia memakai salib di dadanya. Nah, ketika dia memakai jilbabdan memakai salib, menimbulkan masalah baru, dia dianggap melecehkan. Jadi ini satu masalah yang tadi telah disinggung.
Syariat selalu diklaim hanya diberlakukan untuk orang Islam, tidak mungkin untuk non muslim. Tapi sebagaimana saya katakana tadi, kalau kita memang ingin menegakkan hal seperti itu, itu harus jelas, harus dirinci. Kalau tidak akan muncul ekses seperti yang telah dicontohkan tadi.

0 komentar:

Posting Komentar