Menuntaskan Masalah Tionghoa ”Stateless”

Oleh: Herdy

Negeri ini memang penuh dengan ironi dan fenomena aneh. Misalnya, orang yang sudah bergenerasi atau berpuluh tahun tinggal di negeri ini ternyata harus menunggu lama untuk bisa memiliki identitas resmi negeri ini seperti KTP atau KSK. Contohnya Pok Tjie Ing, setelah menunggu selama 13 tahun, pria berumur 43 asal kawasan Krembangan, Surabaya, itu bisa mendapatkan KSK (kartu susunan keluarga) yang diidam-idamkannya pada 9 Oktober 2006 lalu. Dia secara sah resmi telah menjadi WNI, meski harus keluar banyak uang dan kesabaran berlipat ganda.

Meski demikian, jika kita camkan, masih ada yang mengganggu dan mengganjal dalam pernyataan Pok Tjie Ing. Dia tidak ingin kasus serupa menimpa anak-anaknya. Karena itu, dia terpaksa memisahkan KSK dirinya dengan istri dan anaknya meski tetap dengan alamat yang sama. Dia tidak memasukkan nama mereka dalam KSK, karena takut nanti mereka bermasalah akibat nama Pok Tjie Ing yang berbau Tionghoa. Dari pernyataan itu jelas tersirat masih tersisa kekhawatiran atau kecemasan terkait status kewarganegaraan (WNI) anak-anaknya kelak. Kekhawatiran serupa juga tengah menggelayuti Ong Giok Bie dan warga Tionghoa stateless lain di Surabaya yang belum mendapatkan KSK.

Seperti diketahui, menurut data dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil 2005, sekitar 17,52% atau 374.000 orang dari total 2,7 juta penduduk Surabaya, ternyata masih ada yang tidak memiliki kartu tanda penduduk. Selain itu, ada 9,92% atau sekitar 211.000 orang yang tidak memiliki kartu surat keluarga. Kebanyakan “kasus stateless” memang menimpa warga Tionghoa. Tidak heran jika banyak Tionghoa stateless lainnya mulai dari Medan, Bangka, Jakarta, hingga Ambon juga sering digelayuti kecemasan seperti dirasakan Ong Gok Bie. Nah kebetulan, penulis baru memandu diskusi di Surabaya dengan pakar hukum tata negara Ubaya Prof Eko Sugitario, aktivis Biao Wan, dan Amin Hasan aktivis Jaringan Islam Anti Diskriminasi (JIAD), ditambah Ahmad Rubaidi dari Forum Lintas Agama Jatim (18/10/2006). Diskusi itu di antaranya mengungkapkan bahwa untuk menuntaskan masalah warga Tionghoa stateless, masing-masing orang tersebut jangan dibiarkan memperjuangkan sendiri permasalahannya.

28 Tahun
Memang memperjuangkan sendiri tidak dilarang, tetapi kendalanya jelas akan lebih banyak dan kompleks, sementara waktu yang dibutuhkan juga bisa bertahun-tahun. Kita sudah membaca sendiri bagaimana Pok Tjie Ing menghabiskan 13 tahun hanya untuk mendapatkan KSK. Ong Giok Bie, sosok stateless asal Krembangan Baru II/12 Surabaya layak masuk rekor MURI, karena selama 28 tahun berjuang mendapatkan KTP atau mencoba masuk ke KSK orangtuanya, tetapi hingga kini hasilnya masih nihil. Memperjuangkannya sendirian juga bisa berujung pada ketidakpastian. Yang juga jadi masalah jika memperjuangkan atau mengurus sendiri permasalahan ini adalah keluar biaya yang tidak sedikit, seperti dialami The Jam Hum (44), warga kelahiran Surabaya dari orangtua yang juga dilahirkan di Surabaya. Tahun 1991 Jam Hum bercerai dengan Thio Kok Kin, warga kelahiran Surabaya yang berstatus warga negara asing. Tahun 1996 Jam Hum mengikuti naturalisasi sebagai warga negara RI. Setelah naturalisasi, Jam Hun membuat kartu tanda penduduk dan kartu keluarga (KSK) untuk dirinya dan kedua putranya yang pada tahun 1996 berumur 13 dan 11 tahun. Untuk kedua putranya, petugas catatan sipil memintanya membuat kartu identitas penduduk tetap (Kitap) ke kantor imigrasi. Tanpa Kitap, KSKnya bisa keluar, tetapi dia diharuskan membayar Rp 3 juta.

Memprihatinkan, di tengah kerinduan untuk menjadi WNI secara sah dan resmi, justru terjadi praktik komersialisasi, dan ada calo atau makelarnya. Benar apa yang yang dikatakan Nurul Arifin saat bedah buku SBKRI No Way yang ditulis Mega Christina wartawan SH bahwa praktik diskriminasi terhadap etnis Tionghoa memang untuk memeras (SH,18/10/2006). Karena itu patut disambut dan diapresiasi langkah dari teman-teman aktivis dari Jaringan Islam Anti Diskriminasi (JIAD) yang tergerak untuk membuka posko khusus untuk menuntaskan masalah stateless ini.

JIAD yakin dengan memperjuangkan masalah ini secara bersama-sama dan menghindari penyelesaikan secara perseorangan, segala bentuk penyalahgunaan seperti pungli yang jumlahnya jutaan bisa dihindari. Sebab dengan penyesaian model ini diharapkan posisi tawar warga Tionghoa bisa ditingkatkan sehingga tidak terus-menerus menjadi bulan-bulanan atau dipersulit oleh para birokrat kita.

Pemutihan Saja
Memang dalam sosialisasi UU No 12 Tahun 2000 Tentang Kewarganegaraan, 20 September lalu di Markas Kodam Brawijaya di Surabaya, Mantan Ketua Pansus UU tersebut Slamet Effendy Yusuf sudah berpesan agar para birokrat di Surabaya, khususnya di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, jangan mempersulit warga Tionghoa dalam mengurus surat-surat. Kalau mempersulit, semangat yang baik dalam UU Kewarganegaraan yang baru akan jadi mubazir.

Tetapi pesan seperti disampaikan Slamet sudah sering diserukan oleh menteri bahkan oleh presiden sekalipun, misalnya terkait kebijakan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). Tapi ketika berhadapan dengan birokrat di instansi-intansi yang sudah disebutkan di atas, tetap saja permasalahan menjadi berbelit-belit, meskipun telah keluar duit. Karena itulah, advokasi dan keberadaan posko khusus yang dibentuk JIAD, beberapa jaringan LSM, dan organisasi warga Tionghoa untuk menuntaskan permasalahan stateless ini tampaknya menjadi langkah yang strategis.

Ketika menyinggung keberadaan warga Tionghoa stateless, dalam sosialisasi di Makodam itu, Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin juga sudah menegaskan bahwa filosofi atau semangat utama dari kewarganegaraan yang baru adalah tidak boleh ada orang yang stateless atau tanpa kewarganegaraan. Maka Prof Eko Sugitario mengusulkan diadakannya pemutihan saja untuk penuntasan masalah ini. Mengapa pemutihan? Karena masalah stateless ini melibatkan cukup banyak orang, pemutihan menjadi satu-satunya solusi yang masuk akal. Dengan adanya pemutihan secara massal, diharapkan nanti tidak akan muncul lagi kasus ini di masa depan. Sekarang terserah kepada pemerintah hendak menuntaskan masalah ini lewat pemutihan atau membiarkan masalah ini jadi berlarut-larut?

0 komentar:

Posting Komentar